By Magicadespell
Catatan: Artikel ini aslinya dalam bahasa Inggris dan sudah saya terjemahkan. Beberapa bagian telah diedit, sehingga untuk melihat versi aslinya, dapat dilihat pranala langsungnya.
Further, we’re headed for a "steep cooling" in 15-20 years
28 Februari 2007 - Pemanasan di Bumi dan Mars menunjukan bahwa perubahan iklim planet kita kini disebabkan oleh alam, bukan manusia, menurut Habibullo Abdussamatov, kepala Observatorium Astronomikal Pulkovo St. Petersburg di Rusia.
Bumi kini mengalami pemanasan cepat, dengan mayoritas ilmuwan menyatakan bahwa pemanasan ini diakibatkan oleh tingginya tingkat gas rumah kaca di atmosfir.
Mars juga mengalami pemanasan. Pemanasan di Mars menurut Abdussamatov, "adalah bukti bahwa pemanasan global di Bumi sekarang diakibatkan oleh perubahan pada matahari."
"Peningkatan jangka panjang pemancaran matahari memanaskan baik Bumi dan Mars," ujarnya. Mars dan Bumi telah mengalami zaman es pada sejarah mereka. "Pemanasan rumah kaca akibat manusia memberikan sedikit kontribusi terhadap pemanasan Bumi, tetapi tidak sebanding dengan peningkatan pancaran Matahari," ujar Abdussamatov.
Dengan mempelajari ketidaktetapan suhu matahari, Abdussamatov percaya ia dapat melihat pola yang cocok terhadap iklim pada Bumi dan Mars.
Seluruh planet mengalami wobble karena melakukan perjalanan mengitari matahari. Wobble Bumi disebut siklus Milankovitch dan muncul antara setiap 20.000 sampai 100.000 tahun. Ketidaktetapan tersebut merubah poros Bumi dan jaraknya dari matahari dan diduga menyebabkan zaman es pada Bumi.
Abdussamatov juga menyatakan bahwa karbon dioksida hanya memberikan sedikit pengaruh terhadap iklim Bumi dan tidak memberikan pengaruh terhadap Mars.
"Pemancaran matahari mulai berkurang pada tahun 1990-an, dan tingkat minimum akan tercapai kira-kira tahun 2040," menurut Abdussamatov. "Sehingga akan menyebabkan pendinginan iklim Bumi dalam waktu 15 sampai 20 tahun."
"Karya Abdussamatov tidak diterima dengan baik oleh ilmuwan lainnya." "Pandangannya sepenuhnya aneh," menurut Colin Wilson, fisikawan Planet di Universitas Oxford, Inggris.
Selengkapnya (bahasa Inggris) bisa dilihat di:
Pemanasan Global di Yupiter
4 Mei 2006 - Terdapat bintik merah baru di Yupiter dan Teleskop Hubble sedang memotretkejadian tersebut.
Disebut "Red Spot Jr.", terbentuk setelah terjadinya tiga badai berbentuk oval berwarna putih-dua diantaranya berusia 90 tahun-bergabung antara tahun 1998 dan 2000. Penelitian dilakukan oleh Imke de Pater dan Philip Marcus di Universitas California, Berkeley. Pertumbuhan tersebut menandai peningkatan suhu sekitar 10 derajat Fahrenheit di wilayah tersebut.
Pemanasan Global di Triton
28 Juni 1998 - Teleskop Hubble NASA dan beberapa alat lainnya menunjukan bahwa suhu bulan terbesar Neptunus meningkat. Permukaan Triton yang terdiri dari nitrogen beku berubah menjadi gas.
"Paling tidak sejak tahun 1989, Triton mengalami pemanasan global," menurut astronom James Elliot. Elliot dan koleganya dari Observatorium Lowell dan Williams College melaporkan penemuan mereka. Diperkirakan suhu Triton meningkat dari -392 sampai -389 derajat F.
Selengkapnya:
Pemanasan Global di Pluto
9 Oktober 2002 - Astronom menyatakan Pluto mengalami pemanasan global meskipun Pluto terletak jauh dari Matahari. Tekanan atmosfir Pluto bertambah selama 14 tahun terakhir, menandai peningkatan suhu. Mereka menduga suhu permukaan rata-rata meningkat sekitar 3.5 derajat Fahrenheit atau 2 derajat Celcius.
Pluto tetap menjadi misteri yang rahasianya tidak mudah dijelaskan. Seorang astronom menduga pemanasan ini disebabkan oleh aktivitas eruptif.
Selengkapnya:
Pemanasan global, hoax kah?
Maret 27th, 2007
Beberapa pekan yang lalu, negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa telah sepakat untuk mengurangi emisi gas CO2 dengan target yang cukup ambisius yaitu pengurangan emisi sebesar 20% hingga 2020. Bahkan Inggris berencana untuk mengurangi emisi CO2-nya sebesar 60% hingga 2050.
Isu pemanasan global memang sedang hangat dibahas di Eropa, apalagi dengan adanya fenomena musim dingin yang hangat di tahun 2006-2007 ini dan semakin banyaknya fenomena “penyimpangan” cuaca seperti badai dan angin ribut yang secara ekonomi sangat merugikan. Juga dengan semakin banyaknya data yang menunjukkan penambahan laju mencairnya es di kutub utara. Dan semua itu, menurut sebagian besar pakar, terjadi karena meningkatnya kandungan gas rumah kaca dari hasil kegiatan manusia (antropogenik), maka dari itu wajar saja kalau apa yang dibicarakan oleh para pemimpin dunia saat ini adalah menurunkan emisi gas rumah kaca tersebut.
Tahun 2006 sendiri oleh WMO ditetapkan sebagai tahun terpanas ke-6, dimana temperature permukaan rata-rata global tahun 2006 lebih hangat 0.42C dari harga rata-rata tahunan pada periode 1961-1990. Bahkan menurut NOAA, tahun 2006 tercatat sebagai tahun terpanas di Amerika, dimana berdasarkan data harga rata-ratanya, tahun 2006 1,2C lebih hangat daripada rata-rata temperatur di abad ke-20 dan 0,04C lebih panas daripada tahun 1998. Bahkan menurut laporan WMO, jika harga rata-rata suhu permukaan dipisahkan antara Bumi belahan utara (BBU) dan selatan (BBS), maka kenaikan suhu permukaan di BBU jauh lebih tinggi daripada BBS. Di BBU harga temperatur permukaan rata-rata 0,58C di atas harga rata-rata 30 tahun yang besarnya 14,6C (terpanas ke-4 sejak tahun 1861) sementara di BBS 0,26C di atas harga rata-rata 30 tahun yang besarnya 13,4C (terpanas ke-7 sejak tahun 1861).
Sejauh ini sebenarnya masih terjadi pro dan kontra tentang pemanasan global ini (dan juga penyebab utamanya), karena selain mereka yang marak menyuarakan terjadinya pemanasan global dengan (salah satu) indikator naiknya suhu permukaan Bumi, ada juga sebagian ahli yang masih menyangsikan data naiknya suhu permukaan yang dikemukakan oleh mereka yang pro tersebut. Selain itu, faktor utama penyebab pemanasan global pun masih jadi perdebatan dan diskusi yang hangat hingga akhir ini.
Salah satu dari mereka (para ahli) yang masih menyangsikan adanya pemanasan global adalah Prof. Bjarne Andresen dari Universitas Kopenhagen. Beliau menganggap bahwa isu pemanasan global lebih kental unsur politisnya daripada ilmiahnya. Hal ini dikemukakannya tentu bukan tanpa argumentasi yang jelas. Beliau yang bekerjasama dengan Prof. Christopher Essex dari Universitas Ontario Barat dan Prof. Ross McKitrick dari Universitas Guelph, keduanya di Ontario Kanada telah mencoba menganalisis topik tentang pemanasan global ini dan telah mereka publikasikan dalam Jurnal Non-Equilibrium Thermodynamics.
Pernyataan tentang terjadinya pemanasan global yang diberikan oleh para pakar yang pro didasarkan pada asumsi umum atmosfer Bumi dan lautan menjadi hangat dalam 50 tahun terakhir yang terjadi akibat kecenderungan (trend) naiknya suhu global yang merupakan hasil dari perhitungan njelimet dan perata-rataan suhu udara yang diukur di seluruh dunia. Menurut Prof. Andresen yang pakar termodnamika, adalah tidak mungkin berbicara tentang suhu sendirian pada sesuatu yang rumit seperti iklim di Bumi. Suhu hanya bisa ditentukan pada sebuah sistem yang homogen. Lebih dari itu, iklim tidak dibentuk oleh suhu sendirian. Perbedaan suhu akan menyebabkan terjadinya sebuah proses dan menghasilkan badai, arus laut dan lain-lain yang membentuk iklim. Menurut beliau metode yang sekarang digunakan untuk menentukan suhu global dan kesimpulan yang diambil dari metode tersebut lebih bersifat politis daripada ilmiah.
Selain ketiga profesor tersebut, masih ada juga pakar lain yang punya pendapat menarik, terutama berkaitan dengan faktor penyebab utama perubahan iklim (climate change) di Bumi ini. Lagi-lagi pakar yang punya pendapat menarik ini ternyata berasal dari Denmark juga, yaitu Henrik Svensmark and Eigil Friis-Christensen. Menurut mereka, faktor utama yang kemungkinan besar menjadi penyebab utama dari perubahan iklim di Bumi adalah sinar kosmik, dan bukan gas rumah kaca.
Sekitar sepuluh tahun yang lalu mereka berhipotesa bahwa sinar kosmik dari angkasa mempengaruhi iklim di Bumi dengan cara mempengaruhi pembentukan awan di atmosfer bagian bawah. Hipotesa ini didasarkan pada adanya korelasi yang kuat antara tingkat radiasi kosmik dan penutupan awan dimana semakin besar radiasi kosmik semakin besar pula penutupan awan. Awan mendinginkan iklim di Bumi karena ia memantulkan kembali sekitar 20% radiasi Matahari ke angkasa.
Menurut mereka, selama abad ke-20 pemasukan (influx) cahaya kosmik berkurang akibat berlipatgandanya medan magnetik Matahari yang memperisai (menghalangi) Bumi dari sinar kosmik. Berdasarkan pada hipotesa di atas, sedikitnya radiasi kosmik berarti sedikit pulalah terjadinya pembentukan awan di atmosfer Bumi. Akibatnya, suhu di Bumi menjadi hangat, seperti yang terjadi sekarang ini.
Untuk yang tertarik dengan pendapat yang kontra (atau yang mengkritisi) apa yang disampaikan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dan film An Inconvenienth Truth, silahkan menonton The Great Global Warming Swindle.
save our planet start from our home.......pisahkan sampah organik dan anorganik dan tanam pohon perindang.
ReplyDelete