SAMPAI kini, belum ada sastrawan Lebanon yang namanya dapat disejajarkan dengan Gibran. Dalam rentang usianya yang pendek, tak lebih dari 48 tahun, ia telah melahirkan karya yang kemudian jadi abadi. Jejak yang ia tinggalkan menembus waktu, generasi, ras, agama dan budaya. Namanya bahkan acap disandingkan sejajar dengan maestro lain, Blake, Dante, Tagore, Nietzsche, Micheleangelo, Rodin, dan Gothe.
Karya Gibran menjadi abadi bukan hanya karena keindahannya, melainkan karena mengandung ambisinya yang dingin tentang kejujuran. Bahkan, "Keindahan ekspresi dan kedalaman misteri yang terkandung dalam syair maupun parabel Gibran telah memenuhi standar tulisan kitab suci," puji John Heynes Holmes, Menteri Urusan Gereja New York, dalam peluncuran buku Gibran, Jesus the Son of Man, 1928.
Nama Gibran bukan hanya mengharumkan Libanon, tapi juga semua kebudayaan, yang mengajarkan bagaimana menjadi manusia atas dasar cinta. Tak heran jika kemudian Gibran seakan menjadi kiblat bagi orang lain untuk ikut mengekspresikan diri. Dia seperti sang nabi, yang dipatuhi jutaan pengikut.
"Pengaruh Gibran sedemikian luas, sehingga kita dengan mudah akan menemukan corak "gibranisme", bukan hanya di Timur Tengah, melainkan juga di Eropa, Amerika, bahkan Amerika Latin," tulis Philip K Hitti, pakar sejarah kebudayaan Arab, saat Gibran dianugerahi penghargaan oleh Arab-American Society, 1929.
Lebanon, Cinta, dan Kepasrahan
Gibran lahir di Beshari, Lebanon 6 Januari 1883. Dan badai dan gempa, serta kilat, adalah inang pengasuhnya. Gibran kecil acap menatap badai, lidah petir, dan angin yang merontokkan gunung, dari kaca jendela rumahnya. Dan jika sudah begitu, tak ada hal lain yang dapat membetot perhatiannya. "Aku merasakan sukmaku bergemuruh, setiap tenaga alam itu tertangkap mataku," tulisnya.
Tapi Lebanon ternyata terlalu kecil untuk ladang bermain imajinasi Gibran. Usia 10 tahun, bersama ibu dan kedua adik perempuannya, ia pindah ke Boston, Amerika. Tapi, berada jauh dari tanah leluhurnya, ingatan Gibran selalu pulang ke Lebanon. Ia merasa, eksotisme Timur tak dapat ia temukan di perantauannya.
Tapi putus asa adalah pantangan dalam hidup Gibran. Dari pinggiran rel kereta di Boston, dia mengasah bakat melukisnya. "Aku bisa hidup hanya dengan modal keyakinan," ucapnya.
Dan terbukti. Dalam sebuah pameran di tahun 1896, Florence Pierce, seorang guru seni lukis, justru melihat ketajaman bakatnya. Tapi bukan hanya bakat melukis itu yang membetot perhatian orang, karya lirisnya, Al-Mawakib (The Procession) yang melukiskan keindahan pohonan Cedar di Lebanon, bahkan membuat orang harus menahan napas. Bukan sesuatu yang aneh. Pegunungan Cedar yang dia gambarkan adalah "kuil tak kasat mata, tempat semesta kesunyian mendatangi diriku." Dan kerinduan pada alam Lebanon itu juga yang membuat Gibran kembali ke sana, 1905, untuk memperdalam bahasa dan budaya Lebanon.
Dunia Barat dan Timur yang dia selami menumbuhkan kesadaran rekonsiliasi antarkutub itu, yang diwakili Islam dan Kristen. Gibran yakin, apa yang terjadi bukanlah konflik agama, karena pada hal yang paling mendasar, ada kesamaan antara agama itu. Karena itu, meski dibesaran sebagai Kristen Maronite, Gibran menyatakan keagungan Alquran, dan potensinya bagi inspirasi spiritual, sosial, dan sastra.
Sedangkan terhadap Yesus, Gibran meyakininya sebagai tokoh supremasi semua zaman. " Seniku tak dapat menemukan tempat istirah yang lebih baik daripada kepribadian Yesus.... Hidupnya adalah simbol perikemanusiaan. Ia akan selalu menjadi tokoh segala zaman, dan dalam dirinya, kita akan selalu menemukan misteri, gairah, cinta, imajinasi, tragedi, keindahan, romansa, dan kebenaran," kata Gibran dalam The Crucified. Kekaguman Gibran pada Yesus bermula dari perkenalannya dengan Abdul Baha, pemimpin Baha'i, 1912. Dari percakapan dengan Baha itulah Gibran berhasuil menemukan wujud spiritualisme Yesus, yang kemudian ia gambarkan dalam karyanya, Yesus, Anak Manusia.
Gaya karya awal Gibran memang tak dapat dilepaskan dari corak romantisme Arab. Tapi Gibran menyimpangkannya dengan memasukkan unsur pemberontakan pada tradisi yang ia rasa mengungkung kebebasan. Dari New York dia mengajak dan mengilhami versi baru Ramantisme Arab yang memperhalus jiwa manusia dengan spiritualisme.
Gibran menunjukkan hal itu dengan pengungkapannya yang dalam pemikiran sufistik melalui Iram Dhat al'Imad (Iram, Kota di atas Pilar). Namun ia juga mengkritik nilai sosial arab melalui beberapa karyanya, yang kemudian menuai kritik, terutama dari May Ziadah, pengarang Mesir yang kemudian menjadi kekasihnya.
Tapi tetap karya monumental Gibran adalah Sang Nabi (The Prophet). Dalam Sang Nabi, Gibran seperti bernyanyi menembangkan mistitisme dan kebijakan Timur, imajinasinya menjelma menjadi semacam wahyu.
Sebagai pribadi yang romantis, cukup aneh "karier asmara" Gibran justru tak menghentak. Ia hanya dikelilingi empat wanita, dengan cinta yang dahsyat pada dua di antaranya: Mary Haskell, wanita Amerika yang menyekolahkannya ke Paris, dan May Ziadah. Pada keduanya, cinta Gibran mengarus lembut, mesra, sangat dalam sekaligus intelek, sebagaimana tercermin dalam Sayap- sayap Patah (Al-ajnihah al-Mutakassirah).
Gibran tak punya cerita tentang seks. Cinta, bagi dirinya yang rapuh karena diterkam sakit yang menahun, adalah kejujuran dan kepasrahan, sikap yang mencerminkan ketotalan "sang nabi" dari Lebanon ini. Maka, ketika maut menjemputnya melalui tali bronchitis, Gibran tersenyum menyambutnya, April 1931. (Aulia A Muhammad)
No comments:
Post a Comment